Kamis, 28 April 2011

Bukan Sekedar Gejala Alam

Akhir-akhir ini dalan waktu yang berdekatan masyarakat Indonesia diterpa berbagai musibah.  Belum selesai mengurus musibah dua kecelakaan kereta api sekaligus di awal Oktober, tiba-tiba muncul banjir bandang di Wasior, Irian. Kemudian gempa berkekuatan 7,2 skala richter diikuti Tsunami hebat di kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Lalu tiba-tiba kita dikejutkan dengan erupsi gunung Merapi di Jawa Tengah. Belum lagi ibukota Jakarta dilanda banjir massif yang mengakibatkan kemacetan dahsyat di setiap sudut kota, bahkan sampai ke Tangerang dan Bekasi.Demikian pula dengan kasus gempa di kepulauan Mentawai yang diyakini oleh para ilmuwan bakal memicu datangnya megathrust (gempa besar).
Sungguh, hidup di negeri Indonesia dewasa ini kita sangat perlu mencamkan pesan Allah berikut ini:
“Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf  : 99) 

Allah mengajarkan kepada kita bahwa perilaku alam sangat berkaitan dengan perilaku kumpulan manusia yang tinggal di lingkungan alam tersebut. Bila masyarakatnya baik di mata Allah, yakni beriman dan bertaqwa, maka Allah akan limpahkan banyak keberkahan kepada masyarakat tersebut dari langit maupun bumi. Tapi sebaliknya, bila mereka mendustakan ayat-ayat Allah, maka Allah akan timpakan hukumanNya kepada mereka melalui beragam bencana yang bisa datang di waktu siang maupun malam hari.

Jangan-jangan Allah menilai bahwa masyarakat kita hanya mengaku secara lisan beriman dan bertakwa, padahal sesungguhnya kita sering mendustakan ayat-ayat Allah dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Kaum muslimin di negeri ini boleh banyak jumlahnya, namun yang benar-benar beriman jangan-jangan sangat sedikit. Kita mengaku beriman kepada Allah, tapi kita seringkali gagal menghadapi berbagai ujian yang Allah sodorkan. Sehingga kita tidak dipandang benar dalam pengakuan keimanan, malah kita dinilai Allah dusta dalam pengakuan keimanan. Padahal setiap ujian yang ada dalam hidup ini adalah untuk mendeteksi kemurnian iman seseorang.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut  : 2-3)

Apa Penyebab Musibah?
            Mencari sebab terjadinya gempa secara kausalitas (hukum sebab akibat) memang diperlukan, sehingga kita bisa mengantisipasi bila kejadian itu berulang. Namun sekali lagi, musibah besar ini tidak boleh disikapi sebatas peristiwa alam biasa (baca: sunnatullah), tetapi ia adalah akibat dan dosa-dosa kita sebagai bangsa.

Dari pengamatan dan pembacaan di berbagai media massa orang sering melihat bencana sekedar sebagai gejala alamiah biasa. Mereka tetap saja melupakan Sang Pencipta meskipun telah diberi peringatan sangat keras. Sehingga analisis mereka terhadap bencana tetap terbatas pada gejala gejala empiriknya. Dalam kasus gempa tektonik dan gelombang tsunami di Aceh dan sebagian Sumatera Utara, analisis penyebab juga terfokus faktor geografis dan geologisnya. Antisipasi terhadap bencana gempa dan gelombang tsunami juga terkait dengan pendekatan terhadap karakter geografis dan geologis bumi. Misalnya menyiapkan sistem deteksi akurat agar gempa maupun tsunami bisa diketahui lebih dini. Sehingga pemberitahuan kepada masyarakat di daerah-daerah dekat episentrum gempa tektonik dapat dilakukan secepatnya. Semua ini dilakukan untuk mengantisipasi jatuh korban yang terlalu banyak -meski kita ketahui bersama bahwa alat pendeteksi tsunami dan yang dipasang di sepanjang kepulauan Sumatera dan Jawa juga tidak berfungsi sama sekali saat terjadi tsunami di Mentawai padahal alat tersebut terbilang sangat canggih dan pemasangannya menelan biaya sangat besar.

Tidak dibahas di dalamnya sebab-sebab yang menjangkau aspek ruhani alam dan kaitannya dengan tingkah laku manusia.

Agama menyeru agar kita semakin bijak dan mendalam menyikapi hencana. Al-Qur’an menyatakan bahwa bencana gempa bumi, banjir, badai dan lain sebagainya bukanlah hal baru dalam sejarah umat manusia. Al-Qur’an memberikan penekanan bahwa bencana terkait dengan prilaku manusia. Hal itu diabadikan oleh Al-Qur’an sebagai bahan pelajaran bagi manusia setelahnya.
“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Hud: 49)

Dari kejadian bencana dalam sejarah, al-Qur’an selalu mengaitkannya dengan prilaku manusia. Doa Nabi Nuh menggambarkan,
“Nuh berkata: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.” (QS. Nuh: 26-27)

Dalam peristiwa banjir dahsyat saat itu, tidak ada satupun orang orang kafir dan pendosa yang selamat, termasuk anak-anak mereka. Bahkan anak dan isteri Nabi Nub sendiri. Hanya orang-orang beriman yang selamat sebagaimana dalam al-Qur’an surah Yunus ayat 73.

Al-Qur’an mengajarkan hanya mereka yang baik dan beriman yang Iayak untuk melanjutkan amanah kehidupan. Maka, bagi mereka yang berada pada waktu yang semasa dengan terjadinya suatu bencana, al-Qur’an menjelaskan,
“Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitarmu dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang supaya mereka kembali (bertaubat).” (QS. Al-Ahqaf:27)

Peringatan ini diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar generasi sesudahnya tidak mengulang kembali kesalahan fatal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Tetapi, melakukan perbaikan-perbaikan akibat kerusakan yang telah ada sebelumnya.
Dalam al-Qur’an alam dan segala kejadian yang ada di dalamnya tidaklah independen. Sang Penciptalah yang memprosesnya dan menyelenggarakannya. Gerak dan perbuatan bumi, langit dan segala yang ada di antara keduanya ada di bawah kendali-Nya. Di antara tujuan pentingnya adalah Allah Azza wa Jalla memperuntukkan bagi manusia sebagai fasilitas hidup dan sarana-sarana untuk mengenal Penciptanya.
Tujuan lainnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjukkan tanda-tanda kebesaran-Nya bagi manusia yang dengannya manusia menjadi berpikir dan dengannya pula manusia merasakan alam bukanlah permainan.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191)

Tanda-tanda kebesaran itu digelar agar kita menyadari bahwa firman-Nya adalah benar, hukum-hukum-Nya benar dan tidak ada kejadian yang tidak terkait dengan-Nya serta tidak ada kejadian yang tidak ada kaitannya dengan kita manusia.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fushilat: 53)
Adalah sebuah fakta, sengaja atau tidak seringkali kita seolah melupakan bahwa alam adalah sebuah ciptaan besar Allah Ta’ala yang seharusnya mengantarkan kita untuk mengenal-Nya dan mengenal kekuasaan-Nya. Ketidak tahuan kita menjadi sekat tebal di hati kita untuk menyadari tidak ada satu kejadian yang tidak terkait dengan-Nya. Bebalnya jiwa kita kerap kali membutuhkan sentakan hebat agar kita menyadari. Geliat bumi dengan gempanya dan laut dengan gelombang pasangnya adalah sentakkan agar kita membuka mata, telinga dan hati untuk menyadarinya. Meskipun kesadaran itu seringkali terlambat. Banjir Wasior, Tsunami di Mentawai, banjir, erupsi gunung Merapi dan musibah lainnya seharusnya mengingatkan kita akan hal tersebut.
sumber: tanaasuh.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar